Endah Yudiantini, dr., MM

Surabaya, eHealth. Puluhan orang terlihat memenuhi ruang tunggu Puskesmas Tambak Rejo, memang itu adalah pemandangan yang biasa terjadi di Puskesmas yang telah mendapatkan sertifikasi ISO 9001 : 2000 pada bulan September 2008 yang lalu. Hasil yang membanggakan tersebut tidak lepas dari kepemimpinan seorang dokter wanita yang ramah dan murah senyum. Beliau adalah dr. RR Endah Yudianti, MM, memang sejak awal berdiri Puskesmas yang beralamat di jalan Ngaglik No. 97 ini telah dipimpin oleh dokter alumnus UGM tersebut.

Perjuangan dokter berjilbab ini untuk menjadi Kepala Puskesmas Tambak Rejo memang melalui jalan yang panjang. ”Pada saat pertama saya memimpin Puskesmas Tambak Rejo, pasien yang datang per hari paling banyak hanya mencapai 20 orang,” ungkap dr. Endah sembari mengenang kali pertama dirinya bertugas di Puskesmas Tambak Rejo pada tahun 1999 lalu. Pada waktu itu petugas Puskesmas Tambak Rejo hanya berjumlah 11 orang. Tentu saja hal itu berbeda dengan keadaan sekarang, saat ini terdapat 43 petugas di Puskesmas Tambak Rejo yang melayani ratusan pasien per harinya.

Bahkan pada waktu itu untuk mengenalkan Puskesmas Tambak Rejo kepada masyarakat, dr. Endah rela untuk melakukan penyuluhan di Posyandu maupun mengunjungi langsung masyarakat di kampung-kampung yang ada di wilayah kerja Puskesmas. Hal ini dilakukan karena Puskesmas Tambak Rejo yang ada sebelumnnya telah berubah fungsi menjadi RSUD dr. Soewandhi sedangkan pelayanan Puskesmas Tambak Rejo dipindahkan ke jl. Ngaglik No 97.

Memang tempat baru Puskesmas Tambak Rejo jauh dari jalan raya, bahkan terkesan ’nylempit’ karena berada di belakang Polsekta Simokerto. ”Untuk mengenalkan diri kepada masyarakat, kita harus sering melakukan kunjungan ke lapangan, karena pada waktu itu masyarakat mengetahuinya bahwa Puskesmas Tambak Rejo adalah RSUD dr. Soewandhi. Merubah pandangan masyarakat saat itu sangat berat, benar-benar berat mas,” ungkap ibu empat anak tersebut kepada tim eHealth.

Tetapi usaha wanita kelahiran Pasuruan tersebut tidak sia-sia, dengan pendekatan langsung yang sering dilakukan kepada masyarakat, akhirnya dr. Endah dan Puskesmas Tambak Rejo semakin dikenal oleh warga sekitar.

”Pada tahun 1999 kita (Puskesmas,Red) pindah ke sini, ruangannya hanya satu kotak bekas kantor kecamatan dan ’los’ gak ada apa-apanya sehingga kita beri sekat-sekat sendiri dengan menggunakan kain,” jelas dr. Endah. Peningkatan pelayanan yang dilakukan Puskesmas Tambak Rejo juga diiringi dengan peningkatan kualitas bangunan fisik. Oleh karena itu, Puskesmas Tambak Rejo selama dalam kepemimpinan dr. Endah telah mengalami dua kali renovasi yaitu pada tahun 2001 dan tahun 2007.

Salah satu resep keberhasilan wanita yang mempunyai dua cucu ini dalam memimpin Puskesmas Tambak Rejo adalah karena dirinya beranggapan bahwa apapun bentuknya selama itu tugas (kemanusiaan dan sosial) harus dilaksanakan dengan senang hati. ”Yang paling penting adalah pelayanan kepada masyarakat dan kita harus banyak memberi. Memberi bukan harus memberi uang tetapi dapat memberi ilmu, pengetahuan dan lain-lain,” ungkap wanita yang sejak kecil bercita-cita menjadi dokter ini.

Berawal dari Orangtua yang Sakit

Ketika mengetahui ayahnya sakit, Endah kecil bertekad untuk menggeluti dunia medis karena dirinya ingin mengetahui apa penyebabnya, bagaimana cara mengobatinya dan bagaimana tatalaksana menangani orang sakit. Setelah lulus SMA di Pasuruan Endah muda mendaftar untuk mengikuti beberapa ujian masuk perguruan tinggi diantaranya di Unibraw dan UGM pada tahun yang sama.

Endah dapat mendaftar di UGM pada tahun 1977, karena pada waktu itu diselenggarakan ujian masuk bersama yang diselenggarakan oleh lima universitas terkemuka yaitu Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gajah Mada dan Universitas Airlangga.

Setelah diumumkan bahwa dirinya berhasil masuk ke dalam FK Unibraw, Endah muda tidak menyia-siakan kesempatan tersebut dan mengikuti serangkaian acara penerimaan mahasiswa baru di FK Unibraw. ”Setelah mengikuti POSMA (semacam Ospek, Red) di Unibraw, saya diumumkan berhasil diterima di UGM, kemudian saya pindah ke UGM,” jelas dr. Endah. Tetapi pada waktu itu dirinya berhasil lolos untuk dua pilihan yang diambil dalam ujian SKALU (ujian masuk bersama 5 Universitas, Red) yaitu untuk jurusan FK UGM dan Arsitektur UGM.

Tetapi dokter yang menghabiskan masa kecilnya di Pasuruan ini, pada waktu itu lebih memilih untuk masuk FK UGM. ”Saya memilih untuk masuk FK UGM dan setelah lulus, saya menjadi asisten dosen di bagian Radiologi FK UGM, tempatnya di RSUD dr. Sardjito, Yogyakarta,” kenang dr. Endah. Setelah beberapa lama di RSUD dr. Sardjito, wanita sederhana ini ingin pindah tugas ke bagian Radiologi di Surabaya tetapi tidak bisa karena pada waktu itu sedang penuh. ”Akhirnya saya masuk ke Depkes dan mulai dari awal,” jelas dr. Endah.

Sebelumnya dr. Endah pernah bertugas di RS Adi Husada Undaan Surabaya. ”Saya pernah di RS Adi Husada Undaan selama 2 tahun sejak tahun 1990,” ungkap dokter berusia 51 tahun tersebut. Setelah menjalankan tugas selama beberapa waktu di RS Adi Husada, akhirnya istri dari H Mansyur Kamal, SE ini bergabung dengan Dinas Kesehatan Kota Surabaya.

Awalnya dr. Endah masuk di Dinkes di bagian KIA pada tahun 1992, karena semangat kerja yang tinggi dan kedisplinannya akhirnya pada tahun 1993 ibunda dari Ayudhya Haksari, SE ini berhasil menjadi Kepala Sub Seksi (Kasubsi) Ibu di Dinkes. ”Kalau dulu Kasubsi, sekarang dirubah namanya menjadi Kasi dan yang dulu Kasi sekarang menjadi Kabid,” terangnya.

Wanita yang memperoleh gelar pasca sarjananya di UGM ini menjelaskan bahwa dirinya menjadi Kasubsi  Ibu sampai 3-4 tahun. ”Setelah Kasubsi Ibu akhirnya terjadi perubahan lagi dan saya menjadi Kasubsi Anak dan Remaja di Dinkes,” jelas dr. Endah. Tetapi tidak berhenti sampai disitu, pada awal tahun 1999 dokter berjilbab ini berpindah tugas ke RSUD dr. Soewandhie. Karena RSUD dr. Soewandhi masih baru sehingga membutuhkan banyak tenaga medis. ”Akhir tahun 1999 saya masuk ke sini (Puskesmas Tambak Rejo, Red),” ujar dr. Endah.

Meskipun telah berhasil memajukan Puskesmas Tambak Rejo mulai dari awal sampai seperti sekarang dan patut untuk dijadikan teladan bagi petugas Puskesmas yang lain, tetapi dr. Endah terus belajar dan mengasah ilmunya serta berusaha untuk menjadi lebih baik dan terus maju karena dirinya sebagai orang tua merupakan contoh bagi putra dan putrinya.

”Kalau saya gampang menyerah dan putus asa, anak-anak malah gak karu-karuan. Oleh karena itu saya harus dapat menjadi teladan bagi mereka,” ungkap ibunda Gema Bismantaka ini.

Memang dalam mendidik anak, Ia tidak terlalu ’cerewet’ untuk menasehati keempat putra dan putrinya. ”Saya tidak banyak omong ke anak, tetapi hanya memperlihatkan penghargaan yang dulu saya dapat kepada anak-anak. Sehingga mereka terpacu untuk dapat menjadi lebih baik,” jelas dr. Endah dengan tegas.

Selain sebagai Kepala Puskesmas Tambak Rejo, dr. Endah juga sibuk menjadi Trainer of Trainer dalam pelatihan MTBS (Manajemen Terpadu Balita Sakit) tingkat Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan/Kemenkes (dulu Depkes, Red). ”Saya dulu mengikuti pelatihan MTBS awalnya pada tahun 2000,” jelas dr. Endah. Setelah pelatihan kegiatan tersebut vakum beberapa saat karena terdapat banyak kegiatan yang lain.

Tetapi setelah itu diadakan pelatihan lagi untuk Training of Trainer (TOT) MTBS yang diadakan Dinkes Provinsi Jawa Timur. Pada saat itu, Kapus Tambak Rejo ini mengikuti pelatihan TOT bersama dengan dr. Lilian dari RSUD dr. Soewandhie karena setiap tim terdiri dari dua dokter, satu perawat dan satu bidan yang dilaksanakan pada tahun 2003.

Setelah dilatih menjadi trainer, akhirnya dr. Endah turun untuk melatih peserta pelatihan MTBS tetapi pertamanya hanya sebagai co fasilitator (asisten fasilitator, red) didampingi dengan fasilitator. Pelatihan TOT yang dilaksanakan oleh dua orang fasilitator ini maksimal diikuti oleh 12 peserta. ”Setelah tiga kali menjadi co fasilitator, akhirnya saya diperbolehkan untuk menjadi fasilitator pelatihan MTBS,” jelas dr. Endah.

Setelah menjadi fasilitator pelatihan MTBS, akhirnya kesibukan dr. Endah bertambah karena setiap ada acara pelatihan MTBS yang diselenggarakan oleh Dinkes Provinsi Jawa Timur, maka dirinya ditugaskan sebagai fasilitator.

Bahkan pada awal tahun 2007, dr. Endah dilatih materi MTBS di Bandung oleh Depkes dan sejak itu dirinya menjadi fasilitator pelatihan MTBS di seluruh wilayah tanah air. ”Saya pernah melatih MTBS di Makasar, di Kalimantan, pokoknya di wilayah Indonesia selama diperlukan,” ungkap dr. Endah. Tetapi permintaan untuk menjadi fasilitator pelatihan dilakukan secara berjenjang oleh Depkes, mulai dari Dinkes Provinsi Jatim dan Dinkes Kota Surabaya ”Jadi bukan sembarangan saya berangkat semau-maunya,” kelakar dr. Endah.

Tidak hanya berhenti sampai disitu, karena kedisiplinan dan pengetahuan yang dimiliki dr. Endah, akhirnya ia diberi tugas tambahan oleh Depkes untuk menjadi pelatih TOT MTBS. ”Saya dan teman-teman fasilitator lain yang melatih calon fasilitator dari seluruh Indonesia, Bahkan setahun saya bisa 3-4 menjadi fasilitator pelatihan TOT MTBS,” ujar dr. Endah mengungkapkan pengalamannya tersebut.

MTBS sendiri merupakan program WHO yang bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi yang dilaksanakan ari berbagai disiplin ilmu. Program ini awalnya merupakan bantuan yang diberikan kepada paramedis terutama untuk daerah pelosok sehingga apabila terdapat kasus emergency dapat segera ditangani.

Sehingga istilah yang digunakan berbeda dengan yang biasa dilakukan oleh dokter, dan salah satu kendala yang dihadapi oleh fasilitator MTBS adalah pada saat melatih dokter. ”Dokter yang mengikuti pelatihan sebagian besar akan menyepelekan materi MTBS, karena dalam MTBS tidak diperbolehkan menggunakan stetoskop,” ungkap dr. Endah.

MTBS dilakukan berdasarkan penilaian dari keluhan yang disampaikan pasien kemudian diambil satu klasifikasi. Dalam klasifikasi tersebut tertera bagaimana tindakan yang akan dilakukan dan jenis pengobatan apa yang akan diberikan. Semua jenis klasifikasi dan tindakan yang akan dilakukan telah disusun rapi dalam satu modul MTBS yang mudah untuk dimengerti dan dibagikan kepada seluruh peserta pelatihan.

”Kalau dokter begitu ketemu pasien langsung diperiksa menggunakan stetoskop. Dalam MTBS hal tersebut tidak boleh dilakukan karena klasifikasi dilakukan hanya dengan melihat, mendengar dan meraba,” jelas dr. Endah. 

Oleh karena itu, dr. Endah merasa bahwa merubah mindset dokter yang mengikuti pelatihan MTBS merupakan kendala tersendiri, tetapi dirinya tidak akan menyerah untuk terus melakukan yang terbaik sesuai dengan moto hidupnya ’Maju Terus Pantang Mundur’. Semangat dr. Endah untuk terus maju dan menjadi lebih baik memang patut untuk dijadikan teladan bagi kita semua.(Ito)

Share this

Banner KTR

KTR dan KTM Surabaya
PERDA Kota Surabaya No 5 tahun 2008

Tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas Merokok

download disini

 PERWALI Kota Surabaya No 25 tahun 2009

Tentang pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Surabaya No 5 tahun 2008 tentang Kawasan Tanpa Rokok dan Kawasan Terbatas merokok

download disini


Counter

    Anda pengunjung ke:

    2,923,387

    Sejak Oktober 2007

    Unique Visitor: 684,942

Statistik